MAHASISWA SELALU DI PANDANG NEGATIF  

Diposting oleh markuscom

OLEH : Markus Eliasar Amnifu, Mahasiswa STMIK Pontianak

Mahasiswa memang memiliki segudang makna, baik secara filosofis maupun realita, sejarah maupun aktualita. Ada yang menyebut agent of change dan iron stock, penyambung lidah rakyat dan intelektual muda, namun ada juga yang menetapkan mahasiswa sebagai perusuh, pembuat onar, dan pembuat macet jalan raya. Apapun julukannya, peran penting mahasiswa memang selalu menyertai perjalanan panjang bangsa ini, mulai dari era mahasiswa Sekolah Kedokteran Djawa STOVIA yang merintis Budi Utomo, mahasiswa Indonesia di Belanda yang mendirikan Perhimpunan Indonesia yang tak gentar menyuarakan Indonesia merdeka, gerakan-gerakan mahasiswa di titik nadir Orde Lama, hingga reformasi sampai sekarang ini. Mahasiswa tetap menjadi pemain utama pelaku sejarah, karena memang mahasiswa adalah salah satu penyeimbang kekuasaan agar tak berujung tiran, mahasiswa adalah perpanjangan tangan rakyat Indonesia yang tak semua berkesempatan menyandang gelar “mahasiswa”. Satu yang tak berubah dari perjalanan mahasiswa, yaitu selalu diidentikkan dengan aksi, terutama demonstrasi.

Banyak kalangan masyarakat, bahkan termasuk mahasiswa itu sendiri, yang pesimis dan memberikan stigma negatif tentang aksi mahasiswa. ”Percuma teriak-teriak di jalan, panas-panasan, gak akan ada yang denger”, atau menganggap aksi mahasiswa hanya memacetkan jalan raya, mengganggu aktivitas masyarakat, apalagi jika sampai terjadi kerusuhan dan kekacauan. Tetapi bagaimana pun, aksi sangatlah penting. Mengapa memilih aksi padahal mahasiswa punya banyak cara menunjukkan kapasitasnya sebagai intelektual? Mahasiswa punya caranya masing-masing menunjukkan eksistensi intelektualnya. Ada yang fokus di bidang akademik saja, kuliah-pulang-kuliah-pulang, ada yang aktif ikut perlombaan, ada yang berorganisasi, dan ada pula yang memilih jalan yang bagi sebagian orang sangatlah ekstrem yaitu menjadi mahasiswa pergerakan, atau lebih tenar disebut aktivis yang menjadi tulang punggung aksi. Pada intinya, peran masing-masing sangatlah penting demi kemajuan bangsa ini dan kita harus saling menghormati peran yang telah dipilih. Aksi mahasiswa pergerakan masih sangat relevan dengan keadaan saat ini. Jika kita bisa duduk manis bersama pejabat-pejabat sambil minum teh, tentu tidak perlulah kita beraksi di bawah terik matahari. Tapi mahasiswa tidak punya akses untuk itu, sehingga aksi dinilai tepat untuk mengkritisi dan memberi solusi bagi problematika bangsa yang datang silih-berganti.

Aksi menjadi senjata pamungkas dan terbukti ampuh sebagai gerakan moral-intelektual. Namun sebagai senjata tentunya aksi tidak boleh sering ditunjukkan kepada masyarakat karena kesakralan nilai aksi dapat lekang dimakan zaman jika terlalu sering digunakan. Stigma miring masyarakat akan aksi muncul karena sekarang banyak sekali aksi yang dinilai tidak jelas tujuannya. Tapi yang perlu ditekankan adalah bahwa aksi bukanlah sekadar aksi. Aktivis pasti tahu ada proses panjang sebelum aksi dilaksanakan, ada pengumpulan data, kajian internal, diskusi terbuka, sampai ketika dirasa perlu diberikan tekanan terhadap pemegang kebijakan, maka aksi pun dilakukan. Pengadilan opini public (the court of public opinion) dapat memberi tekanan signifikan bagi penguasa. Substansi aksi yang disertai solusi adalah hal mutlak dalam pergerakan.

Kecaman terhadap aksi juga datang karena banyaknya aksi anarkistis yang terjadi. Harus diakui memang ada aksi yang dirancang untuk menjadi anarkistis, ada pula anarki yang timbul karena memang disulut oleh oknum tertentu. Tapi sebagai mahasiswa, akasi haruslah dilaksanakan secara tertib dan damai. Gerakan intelektual harus disertai sikap yang intelektual pula, santun dalam bertindak, dan sopan dalam bertutur kata. Intinya, gerakan haruslah keras tapi lembut, militansi yang disertai kesantunan akan lebih elok dilihat masyarakat bahwa memang mahasiswa adalah agen perubahan yang dapat diharapkan untuk perbaikan bangsa ini ke depannya. Kalau aksi rusuh, sama saja memudarkan kekuatan dari aksi itu sendiri. Terkadang sikap keras memang dibutuhkan, tapi harus dilihat relevansinya dengan keadaan, jangan sampai karena nila setitik rusak susu sebelanga.

Di lingkungan kampus UGM sendiri, banyak sekali cara rektorat untuk meredam aksi mahasiswa. Ospek yang akan ditiadakan karena menilai ospek hanya menimbulkan militan-militan baru, gerakan mahasiswa yang dibekukan, dll. Rektorat melalui Direktur Kemahasiswaan pernah berujar ingin menciptakan kondisi belajar kondusif seperti di Singapura. Sungguh mulia sekali tujuannya. Namun sangatlah naif bila membandingkan kondisi bangsa ini dengan Singapura. Bangsa kita masih jauh dari kesejahteraan, banyak hal yang tidak berpihak kepada rakyat, bahkan di UGM sendiri sehingga gerakan mahasiswa sangatlah dibutuhkan. Meskipun banyak pihak apatis, tapi gerakan insyaallah membawa misi suci demi kepentingan umat, bangsa, dan negara. Sebuah gerakan yang bersifat ekstraparlementer sebagai penyeimbang kekuasaan agar tak berujung tiran, tanpa disertai muatan-muatan politik tertentu, tulus bersuara untuk rakyat. Kecaman tak menyurutkan langkah gerakan karena memang gerakan adalah sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan, tujuannya pun jelas, sehingga tak perlulah khawatir dengan keadaan karena gerakan bisa menciptakan keadaan itu sendiri.

Terakhir, kepada mahasiswa pergerakan, beraksilah dengan baik. Tunjukkan moraklitas dan intelektualitas kita kepada masyarakat. Tunjukkan kepada penguasa bahwa kita ada bukan untuk menentang mereka, tapi untuk menentang kebijakan yang tidak berpihak kepada bangsa Indonesia. Tunjukkan bahwa panasnya matahari disertai deru debu tidak akan pernah mampu menggoyahkan tekad mulia kita, Indonesia yang lebih baik!

NONTON TV

Widget By: Info Santai